Kamis, 24 September 2015

Leptospirosis



Leptospirosis adalah salah satu penyakit menular yang muncul ditularkan dari hewan ke manusia (zoonosis) dan disebabkan oleh bakteri patogen yang disebut leptospira. Penularan ke manusia terjadi karena kontak langsung dengan urin atau jaringan hewan yang terinfeksi, atau tidak langsung melalui kontak antara manusia dan air, tanah atau tanaman yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi. Jalur masuk penyakit pada manusia melalui kulit yang terluka, terutama di sekitar kaki, dan atau membran mukosa di kelopak mata, hidung, mulut dan membran mukosa. Leptospira dapat ditemukan di boby dan ginjal dan kulit hewan peliharaan seperti kucing, anjing, sapi, babi, kerbau, dan binatang liar seperti tikus, musang, dan tupai.
Pada tahun 1886 oleh Adolf Weil ditemukan penyakit dengan demam tinggi disertai beberapa gejala neurologis dan pembesaran hati dan limpa. Goldsmith (1887) menyebut gejala ini sebagai "Penyakit Weil". Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi, mulai dari seperti flu biasa untuk terjadinya gagal ginjal dan perdarahan paru dengan kegagalan sistem pernapasan. Gejala klinis Lepstospirosis juga mirip dengan beberapa penyakit lain, seperti demam berdarah, thypus, malaria, influenza dan lain sebagainya. Pada tahun 1915, Inada mendeteksi spirochaeta dan antibodi spesifik dalam darah orang Jepang yang bekerja sebagai penambang dan disertai dengan penyakit kuning.
Diagnosis laboratorium leptospirosis dilakukan dengan menggunakan berbagai tes, yaitu 'rapid test' seperti Uji Arus Lateral (LFT). Tes saat ini 'Standar Emas' adalah mikroskopis Agglutination Test (MAT). Immunosorbent Assay (ELISA) tes enzim-Linked adalah jenis lain dari penggunaan tes untuk mendeteksi infeksi ini.
Menggunakan terminologi epidemiologi, peristiwa leptopsirosis dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu faktor agen penyakit, seperti bakteri jumlah, virulensi dan patogenisitas leptospira; faktor tuan rumah (host), seperti kebersihan pribadi, kebiasaan menggunakan alat pelindung diri saat bekerja di daerah berisiko leptospirosis, status gizi, umur, dan tingkat pendidikan; dan faktor lingkungan, seperti lingkungan fisik, kimia, biologi, dan sosial.
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, terutama di negara-negara dengan iklim tropis dan subtropis dan memiliki curah hujan yang tinggi. Tingginya prevalensi leptospirosis di daerah dengan iklim tropis dan subtropis, dapat dikaitkan dengan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, memungkinkan agen dan vektor untuk hidup lebih lama dan berkembang biak. Suasana lembab dan suhu 25 ° C adalah lingkungan yang optimal untuk bakteri leptospira hidup dan berkembang biak.
Laporan dari Pusat Penyakit Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro - RSDK Hspital Semarang menyatakan bahwa selama periode Januari 2002 sampai Maret 2004, morbiditas meningkat, dari tiga kasus pada tahun 2002, menjadi 12 kasus pada tahun 2003, dan bahkan untuk 26 kasus di periode Januari-Maret 2004 (Laporan Kasus Jawa Tengah 2004). Insiden tertinggi adalah pada bulan Januari, Februari dan Maret, yang bertepatan dengan musim hujan (Apriyanto 2002).
The Case Fatality Rate (CFR) di Indonesia adalah 2,5% -16,45% (rata-rata 7,1%). Laporan kasus di Semarang menunjukkan bahwa CFR di Semarang lebih tinggi dari rata-rata nasional CFR, yaitu 33,33% pada tahun 2002, 16,67% pada tahun 2003 dan 23,08% pada periode Januari - Maret 2004 (Laporan Kejadian 2004).
Faktor risiko studi menunjukkan bahwa sistem pembuangan limbah yang buruk, tikus tinggi penduduk di sekitar rumah, perilaku kaki telanjang, sejarah luka terbuka pada kaki, kontak dengan tikus mati merupakan faktor risiko leptospirosis (Suratman, 2006). Sementara itu (Agus Priyanto, 2006) menemukan bukti bahwa kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan cuci dan mandi di sungai yang berisiko terinfeksi leptospirosis orang di Demak, Jawa Tengah.
Profil Kesehatan Kota Semarang 2004 menunjukkan bahwa persentase rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan sebanyak 77,16%, persentase rumah tangga dengan akses air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) masih rendah, sebanyak 48,58%. Hanya sekitar 70 percens dari memiliki Pengolahan Air Limbah Fasilitas. Gambiro dan Wahyuni (2005) yang dilakukan Leptospirosis Reservoir di Semarang menggunakan Lateral Uji Arus didirikan positif serum tikus diperoleh jumlah sebanyak 18% dari 48 serum tikus diperiksa.
Beberapa daerah di kota Semarang memiliki permukiman kumuh, sungai miskin dan parit, sampah menumpuk, pembuangan limbah rumah tangga yang buruk memungkinkan agen waduk untuk berkembang biak dan scaling up penduduknya ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar